Jumat, 21 April 2017

Saranghae Noona | Kim Samuel (1punch) & Jeon So Mi (Ex IOI) |



Saranghae Noona


Kim Samuel – Jeon So Mi



ROMANCE

 


Aku sungguh mencintaimu, tak peduli dengan umur. Walau kau lebih tua dariku tapi aku tak peduli hal itu. Yang ku pedulikan adalah menjadikan dirimu milikku.


 
April 2015



-------------Saranghae Noona---------


“…Noona”

Somi berhenti melangkah. Tangannya terkepal. Pelan-pelan ia menghirup nafasnya dengan dalam lalu menghembuskannya. Selesai itu, dengan keberanian yang ia punya ia pun berbalik menatap si pemilik suara yang baru saja memanggilnya.

“Sam—“

“Noona, kumohon jangan pergi”

Somi hampir saja menangis melihat mata indah itu menatapnya begitu dalam. Segera dia menahan tangisnya. Wajahnya kini berubah menjadi sinis.

“Pergilah Sam, kau tak akan mengerti. Sudah ku kat—“

Lagi, ucapan Somi di potong Samuel. “Aku tidak peduli noona, aku sudah mengatakan padamu berapa kali, kalau aku sungguh mencintaimu”

Somi menghembuskan nafasnya dengan kasar. Ia diam menatap Samuel. Rasanya ia juga ingin mengatakan yang sejujurnya bahwa ia sama sekali tak mencintai Samuel, baginya Samuel adalah adik kecil yang menggemaskan. Tapi rasanya tak tega mengatakan yang sebenarnya, ia bisa saja menghancurkan hati Samuel.

“Noona, jika kau tidak menyukaiku, maka berikan aku kesempatan untuk membuatmu jatuh cinta padamu” lanjut Samuel kini wajahnya berubah menjadi wajah memohon.

Somi sudah tidak tahan lagi, air matanya jatuh begitu saja terjun dari pipinya. Segera ia menutup mulutnya agar isakannya tak terdengar lagi. Dia juga bingung kenapa ia menangis hanya karena permohonan Samuel apalagi karena wajah Samuel yang berharap sekali.

“Sami..”

Samuel tersenyum kecil mendengar panggilan itu. “Aku akan merindukan panggilanmu itu Noona”

Somi mengambil nafasnya lalu mengeluarkannya perlahan. Ia menghapus air matanya dengan cepat, kemudian ia menatap Samuel yang hanya setinggi lehernya.

“Sami.. aku tak bisa. Aku harus pergi. Aku harus melanjutkan sekolahku di Seoul”

“Lalu bisakah kau menungguku disana nanti? Kemudian kau akan memberikanku kesempatan?”

Pertanyaan itu membuat tubuh Somi menegang. Kenapa juga Samuel harus menanyakan seperti itu. Ingin rasanya ia mengatakan ‘tidak’ tapi apa, ia malah hanya diam menatap Samuel.

“Sudahlah, aku harus pergi. Ayah dan Ibuku sudah menunggu” baru saja Somi berbalik, tiba-tiba saja Samuel menarik tangannya.

“Noona, tolong simpan gelang ini. Suatu saat aku akan mencarinya” Samuel menyerahkan gelang tangan dari kain yang berwarna biru laut pada Somi.

Awalnya Somi ragu mengambilnya, tapi mendengar panggilan Ayah dan Ibunya dari kejauhan membuat ia terpaksa mengambilnya.

“Aku pergi”

Samuel hanya menatap Somi yang mulai jauh dari pandangannya. Kini pemilik hatinya telah pergi meninggalkannya, dia pasti akan merindukan gadis pemikat hatinya itu. Hatinya semakin sakit melihat Somi sudah menghilang dari penglihatannya karena harus menaiki pesawat di depan sana. Dan dia hanya dapat berdiri mematung menyaksikan kepergian Somi.

Hatinya akan kesepian, tidak ada Somi yang bisa ia jahilin, tidak ada lagi suara tangis Somi karena kelakuannya yang melempar serangga, tidak ada lagi yang memarahinya karena menganggu Somi, dan tak ada lagi yang memanggilnya ‘Sami’ jika Somi menginginkan sesuatu darinya. Semunya telah pergi, hanya tinggal ingatan yang tak akan dilupakan saat-saat bersama Somi.

Ia tahu kalau ia dan Somi berbeda jarak umur 1 tahun, tapi tak bisakah Somi menerimanya? Bukankah mereka berjarak hanya 1 tahun, tak masalah bukan Somi menerimanya? Lalu kenapa Somi menolaknya menatah-mentah karena perbedaan itu.

Tapi ia berjanji akan menemui Somi kelak, disaat dia berumur 18 tahun, ia akan pindah ke Seoul demi menemui pujaan hatinya itu.

***

3 Tahun kemudian

“Ya! Jangan berisik”

Seorang gadis beralis tebal itu menatap teman-temannya dengan marah.

“Ya! Somi kami hanya berbicara pelan, apa tak boleh?”

Gadis bernama Somi itu berdecak, kemudian ia berdiri lalu meninggalkan kelasnya yang sangat ribut dengan perasaan kesal. Jika saja gurunya datang pasti kelasnya tak akan seribut sekarang, sungguh ia sama sekali tak menyukai keributan itu membuatnya sangat menganggu.

Somi berjalan terus dengan wajah yang kesal. Ia tak memperdulikan orang-orang yang tak sengaja menyenggolnya ataupun ia yang tak sengaja menyenggolnya. Ntah kemana tujuannya sekarang, tapi pada saat belokkan seseorang menabraknya membuat ia terhuyung jatuh ke lantai kotor sekolah itu.

“Aww..” jeritnya kesakitan saat pantatnya dengan keras menduduki lantai itu.

Astaga

Ia menggeram, siap memarahi orang yang telah menabraknya, ia mendongak menatap orang itu yang hanya berdiri bagaikan seorang pangeran. Somi mengepalkan tangannya, pemuda itu bahkan tak menolongnya padahal ialah yang jatuh, dan pemuda itu jugalah penyebabnya membuat ia terjatuh kesakitan seperti ini.

Segera ia berdiri menatap orang itu tajam. “Ya!”

Pemuda itu hanya melipat tangannya di dada lalu mengangkat alisnya satu sambil menatap Somi santai.

Melihat itu Somi semakin geram. “Kau tak ingin meminta maaf?” dengan suara penuh tekanan Somi masih menatapnya tajam.

Pemuda itu menghembuskan nafasnya. “Apa aku yang salah?”

Ucapan itu membuat Somi semakin geram. “Kau tak punya mata ya? Kenapa kau menabrakku”

Pemuda itu tampak berpikir lalu sedikit kemudian ujung bibirnya tertarik. “Sepertinya terbalik, kau saja yang tak melihat jalan.” Setelah mengatakan itu pemuda itu pergi begitu saja dengan santai.

Lain halnya dengan Somi, gadis itu hanya diam. Amarahnya semakin menaik mendengar itu. Ia berbalik menatap punggung pemuda itu yang mulai menjauh.

“Ya! Jika aku bertemu denganmu lagi, habislah kau” teriaknya.

Pemuda itu tak menghiraukannya, tapi senyum sinis terukir di bibirnya.

‘Coba saja’

***
Somi masih teringat jelas semirik itu. Hal itu membuatnya menjadi emosi kembali. Baru kali ini, ada yang meremehkan dirinya, biasanya orang-orang akan takut melihat tatapan tajamnya. Bahkan banyak yang mengatakan dirinya berwajah iblis, apalagi karena dia sering sekali memarahi orang lain walaupun orang itu memiliki kesalahan kecil dengannya.

Tapi rasanya ia tidak pernah melihat pemuda tadi. Sepertinya pemuda tadi anak baru di sekolahnya sehingga pemuda itu tak mengenal siapa dirinya. Tiba-tiba saja terlintas wajah pemuda itu lagi di pikirannya. Dia terdiam mencoba berpikir dengan wajah itu. perasaannya mengatakan wajah itu seperti pernah di lihatnya. Tapi dimana? Wajah itu tidak asing untuknya. Apa mungkin ia pernah bertemu dengan pemuda itu? Tapi sepertinya tidak, bukankah dia selalu berwajah tajam jika bertemu dengan orang lain sehingga membuat orang-orang takut dengannya.

Dan diakui pemuda itu memiliki wajah yang sempurna dan sedikit kebulean seperti dirinya. Bagian yang paling ia sukai dari pemuda itu adalah hidung. Hidung pemuda itu begitu mancung dan enak di pandang.

Glek

Sadar apa yang dipikirannya sekarang, ia langsung saja menggelengkan kepalanya beberapa kali, menjauhkan pikiran kotor itu. Kenapa ujung-ujungnya ia malah memuji pemuda itu.

Disisi lain, Sejeong teman sekelasnya yang duduk di samping Somi menggelengkan kepalanya beberapa kali melihat Somi yang seperti orang gila. Menggelengkan kepalanya sendiri sambil mengepalkan tangannya lalu gadis itu menenggelamkan kepalanya ke meja.

“Somi-ssi” panggil Sejeong sambil menyenggol tubuh Somi.

Somi kembali menegakkan tubuhnya, ia beralih menatap Sejeong dengan menaikkan satu alisnya.

Sejeong tersenyum penuh arti, segera ia menggeserkan kursinya mendekati Somi. Somi memutar matanya malas, ia sudah menebak isi kepala gadis itu, apa yang akan dikatakannya.

“Kau tau, ada anak baru di kelas 11 yang tampan sekali.”

Benarkan tebakan Somi. Sejeong selalu membicarakan tentang pemuda jika sudah bersamanya. Tanpa peduli ucapan Sejeong, ia kembali menenggelamkan kepalanya.

“Kau menyesal jika tidak melihatnya” bisik Sejeong mendekat ke telinga Somi.

Somi masih tak peduli, ia hanya mendengus.

***
“Ya! Ya! Ya!”

Somi meringis mendapatkan pukulan dan jeritan Sejeong yang tak jelas itu. Ia mengusap lengannya yang panas lalu menatap Sejeong kesal.

“Ada apa!” balas Somi kembali berjerit.

Sejeong tak peduli, matanya malah fokus menatap kedepan. “Ya! Lihat itu, dia anak barunya, bukankah tampan” ujarnya sambil menunjuk kedepan.

Somi mengikuti arah pandang Sejeong. Sejenak ia memperhatikan wajah pemuda itu yang hanya datar. Ia mendengus dengan sikap pemuda itu yang terkesan cool, ditambah lagi kesan yang sombong karena tak membalas sapaan-sapaan para gadis di sekolahnya yang melewati pemuda itu.

“Bukankah tampan?”

Somi kembali mendengus. “Biasa saja” ujarnya. Lalu ia berjalan meninggalkan Sejeong.

Saat melewati pemuda itu mata Somi dan pemuda itu sempat bertatapan tapi Somi langsung menepisnya lalu pergi begitu saja.

***
Pemuda itu menatap Somi sekilas lalu beralih menatap gelang kain biru yang sedang di pakai gadis itu. Ujung bibirnya tertarik, kali ini bukan semirik tapi senyuman tipis, bahkan senyuman itu tak bisa dilihat dan hanya berlangsung 1 detik saja.

***
“Kim Samuel”

Pemuda yang memiliki wajah kebulean itu beralih menatap kakak kelas yang kini telah berdiri di depan mejanya. Ia hanya menarik alisnya satu.

“Apa kau mau berkencan denganku?”

Tawaran itu membuat Samuel menarik ujung bibirnya, “Kau murahan atau apa?”

Ucapan Samuel mampu membuat semua orang di kelasnya tercengang tak percaya terutama kakak kelasnya itu.

“Beraninya kau!”

Samuel tak peduli, ia memilih beranjak dari duduknya lalu memasukkan kedua tangannya kedalam saku celananya. Kembali ia tatap kakak kelasnya itu. “Aku tidak tertarik sama sekali dengan gadis tua” ujarnya sinis lalu pergi meninggalkan kelasnya.

***
Somi tercengang mendengar yang baru saja dikatakan seorang pemuda tadi. Matanya masih setia menatap kelas 11 yang baru saja membuat langkahnya terhenti.

Sampai seseorang membuatnya tersadar.

“Sedang apa kau”

Somi berkedip beberapa kali, lalu ia sedikit mendongak menatap seorang pemuda yang baru saja membuatnya tercengang tadi karena ucapan pedas pemuda tadi.

“Tidak baik mengintip” lanjut pemuda itu.

Mendengar itu Somi membuat emosi Somi naik, ia menatap pemuda itu tajam. “Siapa yang mengintip!”

Pemuda itu menyatukan kedua alisnya. “kalau bukan mengintip lalu apa artinya melihat-lihat kelas orang seperti pencuri”

Somi menghembuskan nafasnya dengan kasar. Kali ini ia menatap pemuda itu dengan tatapan lembut ditambah senyuman manisnya, tapi yang pasti senyuman palsunya.

“Hoobae, noona tidak mungkin mengintip kelasmu. noona hanya tidak sengaja melewatinya” ujar Somi dengan nada yang lembut ditambah lagi penambah kakak adik membuat Somi ingin muntah.

Pemuda itu berdecak. “Mana mungkin pencuri ada yang mengaku”

Habis sudah kesabaran Somi. Ia menatap pemuda itu kembali tajam. “YA!” teriaknya tepat dihadapan pemuda itu.

Pemuda itu hanya mampu meringis melihat tatapan tajam itu.

“Kau! Jangan macam-macam denganku, aku bisa saja menghabiskanmu sekarang juga. Kalau kau tidak ingin mati lebih baik kau diam saja!” ujar Somi berapi-rapi sambil menunjuk pemuda itu.

Pemuda itu tersenyum sinis. Matanya malah beralih pada gelang kain biru itu. “Gelangmu bagus” setelah itu pemuda itu pergi begitu saja.

Somi? Gadis itu ternganga. Pemuda itu hanya memuji gelangnya lalu pergi begitu saja? Ya ampun ini benar-benar membuatnya sangat marah.

Rrr.. awas saja dia

***
Samuel memperhatikan gerak-gerik Somi dari kejauhan. Matanya tak pernah lepas dari gadis itu. Somi sendiri terlihat fokus pada makanannya tak peduli dengan sekitarnya.

Dengan langkah pasti Samuel memasuki kantin itu, langkahnya langsung berhenti tepat dihadapan Somi.

“Hey, bisakah kita berkencan?”

Mendengar itu Spontan Somi langsung tersedak. Buru-buru ia minum.

Rasa kesal Somi kembali lagi. Siapapun yang berani menganggunya ia akan kena akibatnya, dan sekarang seseorang telah berani menganggu jam makan siangnya. Segera ia mendongak, dan betapa terkejutnya ia melihat siapa orang itu.

***
“Somi-ssi?”

Ha?

Somi tenganga mendengar namanya dipanggil tanpa ada embel-embel noona. Terlebih lagi yang memanggilnya itu adalah adik kelasnya yang selalu saja membuatnya marah, kesal dan selalu emosi, ya selalu.

“Wow.. daebak..” seru Somi dengan menunjukkan wajah terkejutnya tapi perasaannya sungguh sangat marah.

“Jeogiyo! Kau memanggilku Somi? Tidak noona? Woa jinjja..”

Samuel menarik ujung bibirnya. Dia menatap Somi datar. “Memangnya kenapa? Apa salah?”

Kedua kalinya Somi di buat tercengang dengan bocah yang ada di hadapannya sekarang. Angin yang berhembus kencang membuat rambut Somi berterbangan, segera gadis itu menyelipkan rambutnya ke belakang daun telinganya. Ia menutup matanya lalu menghembuskan nafasnya dengan perlahan mencoba meredakan emosinya.

Tanpa disadari pemuda yang sedari tadi berdiri tepat dihadapan Somi itu terpana dengan wajah cantik Somi. Bibirnya semakin tertarik membentuk bulan sabit, kali ini bukan senyuman sinis melainkan senyum yang benar-benar tulus dan lembut. Menatap wajah Somi secara dekat seperti ini mampu membuat jantungnya berdegup kencang seperti dulu. Ajaib sekali gadis itu yang masih membuat jantungnya berdegup seperti ini.

Perlahan tangan kanannya terangkat mulai mendekati wajah Somi. Tanpa rasa takut ia mengelus wajah Somi dengan jempolnya. Perlakuan itu membuat Somi membuka matanya. Matanya langsung saja menatap Samuel tajam. Dengan kasar ia menghempaskan tangan pemuda itu.

“Ya! Berani sekali kau menyentuhku”

Samuel berdehem, mencoba mensadarkan dirinya. Ia memasukkan kedua tangannya kedalam saku celananya, seperti gayanya seperti biasa. “Memangnya kenapa?” ujarnya dengan wajah yang datar.

Somi kembali mengambil nafasnya, kalau ia terus-terusan marah maka pemuda itu semakin melunjak dengannya. Sepertinya perlakuan dengan pemuda ini harus bersikap halus.

“Dengar, aku tidak ingin emosi terus hanya karena melihat wajahmu. Jadi tolong jangan mencari masalah denganku, dan lagi kita tidak saling mengenal. Berhenti mencoba sok akrab denganku.” Setelah mengetakan itu Somi berbalik kemudian melangkah meninggalkan Samuel.

“Kau salah”

Balasan Samuel itu masih bisa di dengar Somi, hingga membuat langkahnya terhenti. Ia hanya diam mendengar lanjutan yang akan keluar dari mulut Samuel.

“Kita bahkan saling kenal. Apa kau amnesia sehingga melupakanku? Atau karena kau sangat tidak menyukaiku jadi kau sengaja melupakanku.”

Somi tak mengerti arti ucapan Samuel. Dia bahkan bertambah bingung apa yang diucapkan Samuel. Ia kembali berbalik menatap Samuel dari kejauhan.

“Aku tidak mengerti maksudmu, kau bertindak seo—“

Perkataan Somi terhenti karena terkejutnya kedekatannya Samuel dengan dirinya. Dan sekarang jarak mereka sangat dekat, dirinya hanya tinggal mendongak menatap mata pemuda itu.

Samuel menghembuskan nafasnya, tangannya menyingkirkan rambut kecil-kecil Somi dari wajah gadis itu. “…Noona”

***
Somi tak percaya apa yang harus dilakukannya lagi, kejadian kemarin selalu terulang di pikirannya hingga membuat kepalanya pusing. Pernyataan yang membuatnya diam tak berkutik bahkan ia tak mampu lagi menopang tubuhnya sendiri karena kakinya yang lemas.

Matanya kini beralih menatap gelang kain berwarna biru yang melingkar di tangan kanannya. Gelang itu mengingatkannya dengan seseorang. Seorang anak kecil yang dulunya sangat menyukainya dan mengaku mencintainya. Mengingat itu membuatnya tertawa sendiri, bagaimana bisa anak kecil sudah mengenal cinta. Ditambah lagi anehnya, anak kecil itu padahal sering sekali menjahilinya dan bahkan sering membuatnya menangis, terlihat nakal lagi. Dan sekarang betapa terkejutnya ia bertemu kembali dengan anak kecil itu kemarin. Tidak, ia tidak anak kecil lagi, anak kecil itu telah berubah menjadi pemuda tampan dan bahkan lebih tinggi darinya tidak seperti dulu yang hanya setinggi lehernya. Tapi.. kenapa ia harus bertemu dengan anak kecil itu lagi? Padahal ia berharap perkataan anak kecil itu tidak benar, yang akan menemuinya kembali.

Somi menghela nafas, “Kenapa kau datang lagi” ujarnya menatap gelang kain biru itu dengan tatapan nanar.

***
Langkah Somi terhenti saat melihat Samuel berjalan berlawanan arah dengannya. Sekarang dia benar-benar seperti orang ketakutan, ntah bagaimana ia akan bertingkah di hadapan Samuel nantinya. Ini bukan Somi yang biasanya, biasanya ia akan bersikap seperti biasa tapi kenapa sekarang tidak. Seakan-akan ia takut bertemu dengan Samuel karena mengingat kejadian kemarin.

Dan sekarang ia malah memilih jalan yang salah, berbalik mencoba berpura-pura tak melihat Samuel.

Paboya

***
Hari-hari yang dilewati Somi selalu dalam ketakutan. Ia bahkan seperti seorang pencuri, jika ia ingin perpustakaan ia harus mengintip dulu, memastikan apakah keberadaan Samuel ada atau tidak, jika tidak ada ia akan masuk tapi kalau ada ia malah berbalik melupakan perpustakaan. Begitupun di seluruh tempat sekolahnya. Ntah kenapa ia benar-benar takut dan tidak berani menunjukkan wajahnya di hadapan Samuel, rasanya malu, padahal ntah apa yang dimalukan.

Dan sekarang ia bebas, tak ada Samuel di kantin. Ia bebas saja makan di kantin, tanpa memperdulikan sekitarnya, fokusnya sekarang adalah makanannya.

“Noona..”

Uhukk..

Samuel langsung mengambil minum untuk Somi lalu memberikannya pada Somi. Dengan cepat Somi meneguknya.

“Apa kau terkejut?”

Selesai minum. Ia kembali menatap Samuel. Dia hanya diam menatap pemuda itu, ntah apa percakapan yang akan ia mulai dengan Samuel. Sekarang dia menyesal ke kantin ini. Jika tau Samuel ada di kantin, ia tak akan ke kantin ini. Yang ia tahu tubuhnya sekarang menegang, gugup menatap mata Samuel. Segera dia melanjutkan makananya berpura-pura tak tahu keberadaan Samuel, padahal ia sendiri seperti ingin meledak karena tatapan itu.

“Noona.. kenapa akhir-akhir ini kau menjauhiku?”

Pertanyaan itu menghentikan aktivitas Somi. Tanpa mendongak ia berucap. “Aku tak menjauhimu” ujarnya kembali makan.

Samuel mengernyit, ia merasa kelakuan Somi akhir-akhir ini berbeda dengannya. “Kau seperti ke—“

Somi langsung mendongak. “Tidak! Tidak sama sekali, sudah ya” Somi langsung saja pergi meninggalkan makanannya dan Samuel dengan alasan yang tidak jelas.

Melihat itu Samuel bertambah bingung. Ada apa dengan Somi?

***
Somi mengerucutkan bibirnya melihat Samuel dari kejauhan disana. Pemuda itu asik memainkan si bundar orange bersama teman-temannya. Yang membuat Somi kesal adalah gadis-gadis yang bersorak memanggil nama Samuel.

“Kau mau?” tawar Sejeong memberikan kue beras pada Somi.

Tanpa mengalihkan pandangannya, ia mengambil kue beras itu lalu memasukkan mulutnya bulat-bulat. Sejeong melihat itu meringis, “Pelan-pelan makannya, itu sudah milikmu”

Somi tak peduli, pandangannya tak lepas dari Samuel. Setiap pemuda itu mencetak point, gadis-gadis itu berteriak tidak jelas dan persis seperti orang gila untuk dirinya.

Hampir saja Somi tersedak karena Samuel beralih menatapnya dan lagi tersenyum padanya. Ntah apa yang dilakukannya, ia malah menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia yakin seratus persen semua orang menatapnya curiga dan lagi kini pipinya sudah memanas.

“Ya! Samuel melirikmu”

Senggolan Sejeong pun tak ia pedulikan. Ia bahkan semakin menundukkan kepalanya, menutupi wajahnya dengan rambut panjangnya.

“Noona?”

Somi mendongak mendengar panggilan itu. Matanya sukses membulat melihat Samuel kini berdiri dihadapannya dengan senyuman manisnya.

Ottoke

***
“Apa kau sibuk?”

Somi meremas-remas jarinya. Ia gugup sendiri duduk berdekatan dengan Samuel. Sekolahnya sudah sepi karena pertandingan telah usai. Kini tinggal dirinya dengan Samuel lah disini.

“Ti..tidak”

Apa yang kau lakukan Somi, kenapa kau gugup

Samuel menoleh menatap Somi. “Bagaimana kalau kita pergi sebentar?”

Tawaran itu membuat hati Somi melompat-lompat tidak jelas, bahkan hatinya berteriak mengatakan ‘Mau’

“Aku ingin mengenal masa kita dulu. Aku rindu saat itu.”

Somi hanya diam mendengar ucapan Samuel.

“Kau tahu, setelah kepergianmu hidupku sepi sekali tanpamu. Tak ada yang bisa ku jahili, tak ada lagi suara tangis karena ulahku. Haha.. mengingat itu membuatku menjadi tersenyum sendiri”

Somi mengerucutkan bibirnya mendengar itu, spontan ia memukul bahu Samuel. “Ya! Kenapa kau mengingat itu, itu dulu dan lagi kau sangat nakal sekali, selalu membuatku menangis.”

Samuel tersenyum lembut. “Aku senang kau kembali seperti biasa, bersikap seperti ini. Hatiku menjadi menghangat”

“Sami-ssi”

Samuel tertawa mendengar itu. “Panggilan itu, aku sungguh merindukannya noona”

Somi menunduk, pipinya kembali memanas, ia yakin pipinya sudah memerah.

Baru saja Somi membuka mulut, seseorang menghentikannya.

“Samuel!”

Mereka berdua menatap seseorang dari kejauhan. Seorang gadis berwajah bule mendekati mereka lalu menatap Samuel.

“Bisakah kita pulang?”

Samuel terdiam sebentar, ia melirik Somi yang juga menatapnya dengan tatapan bertanya.

“Maaf”

Hanya itu ucapan Samuel, setelah itu pemuda itu berdiri lalu pergi meninggalkan Somi bersama gadis bule itu.

Tentu saja hati Somi sakit, hatinya seperti hancur berkeping-keping. Apakah itu pertanda seperti perpisahan? Ucapan itu mengingat dengan sesuatu. Seperti saat dulu dimana ia minta maaf kepada Samuel karena meninggalkannya. Apa mungkin pemuda itu sekarang ingin meninggalkannya?

***
“Mianhae Noona”

Somi tak tahu lagi harus mengatakan apa lagi. Ia hanya mampu diam dan menatap Samuel nanar.

“Aku telah bersamanya 2 tahun terakhir ini. Dialah yang selalu menemaniku, dia jugalah yang membantuku untuk bangkit. Setelah kepergianmu aku sangat terpuruk, tapi dengan bantuan dia, aku mulai bangkit mencoba menjalani hariku seperti biasa”

Mendengar penjalasan itu membuat hati Somi seperti terhantam kuat sekali. Mendadak kerongkongannya kering, ia pun menegukkan ludahnya membasahi kerongkongannya.

“Saat aku bertemu dengannya, aku merasa dia hanya mempermainkanku. Tapi aku salah, dia membantuku dari kepurukanku. Jadi aku menjadikan dia sebagai orang yang istimewah di hatiku.” Lanjut Samuel.

Tanpa sadar air mata Somi telah jatuh. Tapi ia mencoba tersenyum padahal hatinya begitu perih. Kenapa rasanya ia merasa terlambat dan bodoh.

“Aku merasa aku bodoh”

Somi menatap Samuel dengan nanar. “Selamat ya, aku senang mendengarnya”

Samuel hanya diam. Hatinya pun merasa sakit melihat air mata itu. Tapi apa yang harus dilakukannya? Semua telah berakhir. Dia bukanlah Samuel dulu, yang bebas melakukan apa saja, sekarang ia telah memiliki seorang kekasih.

Segera Somi menghapus air matanya. “Kedua kalinya aku jatuh padamu. Tapi aku selalu menepisnya. Aku yakin kau tak akan percaya, jika aku mengatakan yang sebenarnya.”

Samuel tetap diam memperhatikan wajah cantik Somi.

“Dari dulu aku sudah menyukaimu, tapi aku menyangkalnya. Aku tak ingin memiliki kekasih, yang usianya di bawahku. Sekarang aku merasa seperti orang bodoh, menyesali keputusanku dulu—“

“…Sekarang kau telah bersama gadis lain. Aku senang mendengarnya”

Mengatakan senang, tapi Somi malah menunjukkan wajah sedihnya. Air matanya semakin turun dengan deras.

“Noona…”

Somi menghela nafasnya, mencoba meredakan rasa sesak di dadanya.

“Tidak apa-apa, sekarang bahagialah dengannya. Aku akan baik-baik saja. Mungkin aku bisa menjadi kakak yang baik untukmu” ujarnya mencoba menampilkan senyum manisnya.

Hati Samuel semakin sakit mendengar hal itu. Ia bahkan tak tahu harus mengatakan apa lagi. Ia merasa bodoh, kenapa tidak dari dulu saja ia bersabar. Jika ia sabar, maka sekarang ia sudah bersama Somi. Tapi kenyataannya dia tak punya kesabaran, ia malah memilih gadis lain lalu melupakan Somi begitu saja.

“Tapi kau harus ingat, aku tak akan melupakanmu walaupun aku sudah bersama gadis lain.”

“Saranghae Noona”

Somi kembali menangis dengan deras. Selesai sudah, tak ada lagi yang diharapkannya. Cinta pertamanya telah pergi bersama gadis lain. Jika saja dulu ia tak menolak Samuel, apa mereka masih bersama? Penyesalan selalu datang di akhir.

Somi hanya tersenyum pada Samuel, begitupun Samuel juga tersenyum padanya. Mungkin mereka bisa menjadi kakak beradik yang memiliki perasaan yang sama.

***
END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar